STORIES BEGIN…
21 DAYS BEFORE “Deadline” TIME
"Hahahaha," gadis itu tertawa.
Pemuda dengan rambut ditarik ke belakang, yang duduk di sebelahnya cepat-cepat berkata, "Ssshh jangan keras-keras. Nanti dikira ada perkosaan di sini."
Rosa meruncingkan bibir, "Huu, memangnya siapa mau diperkosa sama kamu."
"Loh," kata si gondrong, "memangnya aku bilang kalau aku yang merkosa?"
Si gadis tertawa lagi.
Pemuda yang baru dikenalnya dua jam lalu itu benar-benar membuat perutnya sakit. Pandangan yang semula buruk melihat potongan jalanan si pemuda lenyap sudah. Yang ada kini hanya perasaan suka yang entah dari mana datangnya.
Wajah si gadis memerah seketika. Pemuda ini terkadang begitu kurang ajar. Namun entah mengapa kekurangajaran itu tidak membuatnya risih atau sebal.
Rosa akhirnya berusaha menenangkan jantungnya yang berdegup kencang.
Shit!! Kenapa kami kaum cewek sudah tahu itu gombal tapi tetep aja jantung bergetar aneh.
"Jangan begitu," katanya, lebih pada dirinya sendiri.
"Kenapa tidak?" tanya Dio dengan senyum tersungging.
Rosa bingung seketika. Tak tahu harus menjawab apa. Pemuda ini sejak tadi selalu sukses membalikkan pertanyaannya dengan pertanyaan serupa yang lebih berkesan menuduh. Sesuatu yang tak bisa dijawabnya tanpa berpikir keras.
"Gimana, ya," akhirnya Rosa berkata, "nanti ada yang marah loh sama kamu."
Dio nyengir seketika, kebiasaan yang muncul saat umpan yang dipasangnya disambar ikan-ikan gemuk.
Gotcha!!
Pemuda itu menggelengkan kepala.
Rosa menatap pemuda itu dengan rasa heran campur takjub. Baru dua jam yang lalu, mereka berkenalan, sekarang pemuda itu sudah menanyakan sesuatu yang nyaris tak sanggup ia menolaknya.
Otherplace,di lokasi berbeda, tokoh lain si Tio juga beraksi...
"Kamu kok diam?" tanya seorang gadis berpakaian `you can see', dengan sisa riasan yang masih melekat di kulit wajahnya.
Sebetulnya pertanyaan itu ia keluarkan, karena tak tahan dipandangi terlalu lama.
Pemuda gondrong berjaket kulit di depannya hanya tersenyum, lalu membuang puntung rokoknya. Tanpa mengatakan apapun, pemuda itu meraih gelas Nutrisari Leci di depannya. Si gadis tambah penasaran dengan sikap si pemuda.
Belum ada dua jam mereka bertemu dan berkenalan. Sebetulnya ia sudah memperhatikan pemuda itu sejak acara kampus dimulai. Pemuda itu berkeliaran ke sana kemari dengan binder map di tangannya. Suaranya keras dan tegas. Dalam sibuknya, senyum tak pernah hilang saat orang-orang menyapanya, seolah ia ingin menunjukkan bahwa kesibukan tidak mempengaruhinya sama sekali.
"Fi, itu siapa sih?" tanya Shinta sesaat sebelum dia tampil sebagai MC.
"Oh, itu Tio. Awas, orangnya dingin banget."
"Dingin?" tanya Shinta sedikit tak percaya. Pikirnya, orang dengan senyum yang murah itu jelas-jelas bukan tipe orang yang `dingin'.
Mata pemuda itu, pikirnya, ada yang aneh dimatanya, sesuatu keluar dari sana, sesuatu yang menggoda tapi hangat..
Saat acara barakhir, Shinta di atas panggung, pemuda itu mendekatinya, menjabat tangannya, lalu kembali dalam kesibukannya. Rasa ingin tahu, ditambah dengan kelelahan, membuat Shinta mengangguk saat pemuda itu mengajaknya ke Mc D.
Sekarang, ia sedikit gemas melihat pemuda itu hanya diam saja. Duduk manis, memperhatikannya lekat-lekat, seolah ada nasi di wajahnya. Tanpa sadar, Shinta meraba tepian bibirnya. Jelas saja, tak ada apa-apa di situ.
"Kamu tahu," mendadak Tio berkata, membuat si gadis terkejut. "Apa yang paling menyenangkan di sini?"
"Apa?" tanya Shinta.
Shinta merasa geli bercampur senang yang aneh. Jelas pemuda itu sedang merayunya. Tapi caranya itu, berbeda dengan cara-cara lelaki kebanyakan. Sekarang ia melihat pemuda itu lagi-lagi memperhatikannya. Ada sebuah senyum di wajah pemuda itu.
"Kenapa memang denganku?" tanya Shinta gemas, "aku aneh ya?"
"Iya," kata Tio nyengir, "mukamu jelek."
"Masa?" Shinta otomatis merogoh tas kecilnya, mencari kaca rias.
Untuk perempuan, penampilan adalah segalanya. Kecuali yang sadar dirinya jelek.
Tio tertawa. Shinta mengangkat kepalanya dengan heran. Sejak dari tadi, baru kali itu ia mendengar pemuda itu tertawa. Tawanya benar-benar lucu, mirip tawa anak kecil.
"Tapi kalau dilihat-lihat," ucap Tio sambil memiringkan kepala dan menempelkan jari telunjuknya ke bibirnya, suatu sikap yang udah menjadi kebiasaannya, "kamu lebih bagus jelek begini."
"Eh, kok bisa begitu?" tanya Shinta keheranan.
"Iya," senyum Tio, menarik kepalanya lurus kembali.
"Aku suka orang jelek," lanjutnya.
Lagi-lagi Shinta tersipu. Gadis itu menarik keluar tangannya dari dalam tas. Ada kelegaan yang tiba-tiba muncul.
"Kamu itu aneh," senyum Shinta seraya menopang dagunya dengan sebelah tangan di atas meja.
Tio nyengir, "Kenapa aneh?"
Oh God! Matanya membuatku tak bisa menolak, jerit Shinta.
Jantungnya berdegup kencang.
Udah gila nih aku!! Timpalnya dalam hati heran sama diri sendiri.
--------- Bermain Api Atau Api yang Bermain? (CHAPTER 1) -END---------------
Bermain Api Atau Api yang Bermain? (CHAPTER 2) - NEXT
Bermain Api Atau Api yang Bermain? (PROLOG) - BACK
Pemuda dengan rambut ditarik ke belakang, yang duduk di sebelahnya cepat-cepat berkata, "Ssshh jangan keras-keras. Nanti dikira ada perkosaan di sini."
Rosa meruncingkan bibir, "Huu, memangnya siapa mau diperkosa sama kamu."
"Loh," kata si gondrong, "memangnya aku bilang kalau aku yang merkosa?"
Si gadis tertawa lagi.
Pemuda yang baru dikenalnya dua jam lalu itu benar-benar membuat perutnya sakit. Pandangan yang semula buruk melihat potongan jalanan si pemuda lenyap sudah. Yang ada kini hanya perasaan suka yang entah dari mana datangnya.
"Jadi, Dio, kamu masih kuliah?"
Si gondrong dengan sikap digagahkan mengangguk. "Tentu saja. Walaupun tampak brutal begini, sebetulnya di dalam seorang pemuda yang baik. Rajin. Alim. Pokoknya nggak ada negatif-negatifnya."
"Hiiih, bohong. Dari matamu aja aku bisa tahu kalau kamu tuh pemalas."
"Wah, enggak lah," sahut Dio, "kalau dari mataku sih, satu-satunya yang bisa kamu katakan adalah bahwa kamu melihat aku suka kamu."Wajah si gadis memerah seketika. Pemuda ini terkadang begitu kurang ajar. Namun entah mengapa kekurangajaran itu tidak membuatnya risih atau sebal.
Rosa akhirnya berusaha menenangkan jantungnya yang berdegup kencang.
Shit!! Kenapa kami kaum cewek sudah tahu itu gombal tapi tetep aja jantung bergetar aneh.
"Jangan begitu," katanya, lebih pada dirinya sendiri.
"Kenapa tidak?" tanya Dio dengan senyum tersungging.
"Iya, cowok seperti kamu pasti sudah sering mengatakan begitu pada cewek-cewek."
"Wah, aku ada tampang playboy?" kata Dio dengan melongo. "Bukan, tampang tukang becak."
"Kalo begitu tukang becak playboy. Yah, pasti deh kamu nggak mau denganku. Ya udah kalo gitu, kita berteman saja. Begitu maumu?"
Rosa bingung seketika. Tak tahu harus menjawab apa. Pemuda ini sejak tadi selalu sukses membalikkan pertanyaannya dengan pertanyaan serupa yang lebih berkesan menuduh. Sesuatu yang tak bisa dijawabnya tanpa berpikir keras.
"Gimana, ya," akhirnya Rosa berkata, "nanti ada yang marah loh sama kamu."
Dio nyengir seketika, kebiasaan yang muncul saat umpan yang dipasangnya disambar ikan-ikan gemuk.
Gotcha!!
Pemuda itu menggelengkan kepala.
"Beneran??! Masa kamu mau marah sama aku?"
Wajah Rosa memerah lagi. Untuk yang kesekian kalinya pertanyaan itu berbalik. Dio tertawa saat melihat gadis itu kebingungan. Katanya, "Kalau tidak menjawab berarti kamu mau dong jadi pacarku." Rosa menatap pemuda itu dengan rasa heran campur takjub. Baru dua jam yang lalu, mereka berkenalan, sekarang pemuda itu sudah menanyakan sesuatu yang nyaris tak sanggup ia menolaknya.
Otherplace,di lokasi berbeda, tokoh lain si Tio juga beraksi...
"Kamu kok diam?" tanya seorang gadis berpakaian `you can see', dengan sisa riasan yang masih melekat di kulit wajahnya.
Sebetulnya pertanyaan itu ia keluarkan, karena tak tahan dipandangi terlalu lama.
Pemuda gondrong berjaket kulit di depannya hanya tersenyum, lalu membuang puntung rokoknya. Tanpa mengatakan apapun, pemuda itu meraih gelas Nutrisari Leci di depannya. Si gadis tambah penasaran dengan sikap si pemuda.
Belum ada dua jam mereka bertemu dan berkenalan. Sebetulnya ia sudah memperhatikan pemuda itu sejak acara kampus dimulai. Pemuda itu berkeliaran ke sana kemari dengan binder map di tangannya. Suaranya keras dan tegas. Dalam sibuknya, senyum tak pernah hilang saat orang-orang menyapanya, seolah ia ingin menunjukkan bahwa kesibukan tidak mempengaruhinya sama sekali.
"Fi, itu siapa sih?" tanya Shinta sesaat sebelum dia tampil sebagai MC.
"Oh, itu Tio. Awas, orangnya dingin banget."
"Dingin?" tanya Shinta sedikit tak percaya. Pikirnya, orang dengan senyum yang murah itu jelas-jelas bukan tipe orang yang `dingin'.
"Iya, terutama sama cewek-cewek."
"Masa?"
"Iya, dan melihat caranya memandangmu, mungkin ia tertarik padamu."
"Mana?" Shinta menoleh dan melihat pemuda gondrong itu memang sedang menatapnya dari jauh. Pemuda itu lalu menarik senyumnya. Shinta merasa sebuah getaran merasuki dirinya, membuat wajahnya terasa panas.Mata pemuda itu, pikirnya, ada yang aneh dimatanya, sesuatu keluar dari sana, sesuatu yang menggoda tapi hangat..
Saat acara barakhir, Shinta di atas panggung, pemuda itu mendekatinya, menjabat tangannya, lalu kembali dalam kesibukannya. Rasa ingin tahu, ditambah dengan kelelahan, membuat Shinta mengangguk saat pemuda itu mengajaknya ke Mc D.
Sekarang, ia sedikit gemas melihat pemuda itu hanya diam saja. Duduk manis, memperhatikannya lekat-lekat, seolah ada nasi di wajahnya. Tanpa sadar, Shinta meraba tepian bibirnya. Jelas saja, tak ada apa-apa di situ.
"Kamu tahu," mendadak Tio berkata, membuat si gadis terkejut. "Apa yang paling menyenangkan di sini?"
"Apa?" tanya Shinta.
"Ya tadi itu, memperhatikan kamu. Tapi sayang, kok kamu jadi risih."
"Kenapa memang denganku?" tanya Shinta gemas, "aku aneh ya?"
"Iya," kata Tio nyengir, "mukamu jelek."
"Masa?" Shinta otomatis merogoh tas kecilnya, mencari kaca rias.
Untuk perempuan, penampilan adalah segalanya. Kecuali yang sadar dirinya jelek.
Tio tertawa. Shinta mengangkat kepalanya dengan heran. Sejak dari tadi, baru kali itu ia mendengar pemuda itu tertawa. Tawanya benar-benar lucu, mirip tawa anak kecil.
"Tapi kalau dilihat-lihat," ucap Tio sambil memiringkan kepala dan menempelkan jari telunjuknya ke bibirnya, suatu sikap yang udah menjadi kebiasaannya, "kamu lebih bagus jelek begini."
"Eh, kok bisa begitu?" tanya Shinta keheranan.
"Iya," senyum Tio, menarik kepalanya lurus kembali.
"Aku suka orang jelek," lanjutnya.
Lagi-lagi Shinta tersipu. Gadis itu menarik keluar tangannya dari dalam tas. Ada kelegaan yang tiba-tiba muncul.
"Kamu itu aneh," senyum Shinta seraya menopang dagunya dengan sebelah tangan di atas meja.
Tio nyengir, "Kenapa aneh?"
"Kata temanku tadi, kamu tuh orangnya dingin sama cewek."
"Menurut kamu gimana?"
"Kurasa nggak. Kamu tuh baik, walau sedikit mirip rampok."
Tio terkekeh. Tapi wajahnya langsung berubah serius. "Sebetulnya aku nih memang dingin."
"Sebetulnya?" heran Shinta."Kecuali…. pada calon pacarku."
"Hhh?" Shinta bingung, tak tahu harus berkata apa lagi. Mata pemuda gondrong itu menatapnya. Ia serius, pikir Shinta dalam hati.Oh God! Matanya membuatku tak bisa menolak, jerit Shinta.
Jantungnya berdegup kencang.
Udah gila nih aku!! Timpalnya dalam hati heran sama diri sendiri.
--------- Bermain Api Atau Api yang Bermain? (CHAPTER 1) -END---------------
Bermain Api Atau Api yang Bermain? (CHAPTER 2) - NEXT
0 komentar
Posting Komentar
Silahkan berkomentar apa saja yang terkait pada artikel ini. Terima Kasih.