17 Days Before 'Deadline'
Shinta's Side
Pemuda gondrong berjaket kulit itu melangkah cepat. Langkahnya terhenti di ujung sebuah anak tangga. Menatap arloji di pergelangan tangannya seraya tersenyum-senyum.
"Lima menit lagi," batinnya senang.
Dengan satu gerakan cepat, ia membuka resleting jaket kulitnya dan meraih sesuatu dari dalam saku. Lalu menggigitnya di sela-sela gigi.
Sebatang mawar merah darah.
Tepat lima menit kemudian, bel usai kuliah berbunyi nyaring, disusul derap riuh langkah kaki di ujung lain tangga. Ia tetap berdiri tegak, seolah tak peduli dengan berpasang mata yang berlalu di sekitarnya dengan tatapan heran.
Yang lain cuma ngontrak!
Dan gadis yang ditunggunya, telah berdiri di hadapannya dalam jarak sepuluh anak tangga, dengan mata terbelalak kaget. Ragu-ragu, si Gadis melangkah perlahan.
Si Pemuda gondrong hanya bisa meringis, seraya mengedipkan sebelah mata.
"Tio? Kamu, eh,... ka-kamu ngapain?" Sedikit terbata gadis itu.
Pemuda itu, Tio, melepaskan gigitannya, lalu menyodorkan mawar merah darahnya.
"Buat kamu, dari aku."
Gadis itu, sedikit gemetar, mengulurkan tangan menerima.
Dan bunga itu pun berpindah tangan. Sontak, bergemuruh tepuk tangan dan celoteh usil. Teman-teman si Gadis ternyata telah bergerombol menonton `adegan dramatis' itu sejak tadi.
Si Gadis tak kuasa menahan gelombang perasaannya yang bergantian muncul.
Malu, jengah, senang, dan juga tersanjung. Seumur hidup, belum pernah ada laki-laki yang memperlakukannya sedemikian rupa.
Ia hanya tertunduk, dengan wajah memerah bagai kepiting rebus. Tinggal disantap! Pemuda itu meringis riang, ia terlihat begitu tenang dan tak peduli pada situasi di sekitar mereka yang masih riuh-rendah oleh suara-suara nakal warga Kampus Merah.
Dasar sirik!
"Heiii, Shinta......?" Gadis itu mengangkat wajahnya yang masih kemerahan.
"Hmm?" Hanya itu yang bisa keluar dari bibir indahnya.
"Cabut yuk!" Berkata begitu, Tio langsung menggenggam jemari si Gadis dan menariknya lembut.
Gadis yang dipanggil Shinta hanya menurut saja. Ia merasa seluruh tubuhnya seolah tak bertulang. Jemarinya yang digenggam si Pemuda dialiri keringat dingin. Mereka berlalu, dengan iringan tepuk tangan para pemirsa tercinta. Kali ini lebih kencang dari yang pertama.
"Jahat! Kamu jahat, Tio!!" Shinta memukul-mukul punggung Tio dengan gemas, ketika mereka berdua sudah duduk berboncengan di atas motor besar pemuda itu.
Tio tersenyum-senyum kecil. Ia masih menikmati desiran angin di sela-sela rambut gondrongnya.
Tanpa menoleh, ia berteriak lantang, "Aku suka kamuu, Shintaaa!"
Sontak, Shinta membelalakkan matanya, lalu melirik ke kiri-kanan. Mereka masih berada di lingkungan kampusnya, dan beberapa mahasiswa yang sedang berjalan di dekat mereka terlihat tersenyum-senyum geli. Tanpa disadarinya, Shinta ikut tersenyum.
Wajahnya merunduk di samping telinga Tio, "Kamu bandel!" bisiknya lirih, sambil menyelusupkan jari ke balik jaket pemuda itu, lalu menghadiahkan cubitan kecil.
"Wadaaaoow!" jerit Tio, dan tiba-tiba menarik handel rem.
Shinta yang tak menyangka aksi itu, spontan memeluk tubuh si Pemuda dari belakang.
Hanya beberapa detik, Shinta langsung melepaskan dekapannya. Wajahnya terlihat merajuk, dan memerah kembali. Ia tak ingin disangka mengambil kesempatan.
"Apaan sih, Tio?!" jerit gadis itu seolah-olah sedang marah.
Khas perempuan, selalu `jaga image’.
"Lhah, kamu, pake nyubit segala!" Tio mengusap-usap pinggangnya.
Lumayan merah juga. Anak ini bener-bener mirip kepiting, batin Tio.
"Abis, kamu bandel banget sih..." Shinta memperhatikan lagi ke sekeliling. Mereka sudah berada dekat lapangan basket di belakang kampus. Syukurlah, tak ada orang di sini, batin Shinta lega. Cukup dua kali saja ia jadi tontonan hari ini.
"Kalo pengen meluk, bilang aja deh, aku ikhlas kok," goda Tio lagi.
"Yeey, enak aja!" Shinta membuang muka.
"Emang enak!" timpal Tio cepat.
Shinta sudah tak berani bicara.
"Shin...." Tio berbisik lembut. Ia membalikkan punggung, menatap wajah gadis itu dari dekat.
Shinta melengos, membuang muka ke samping. Dadanya sudah berdebar tak karuan. Napasnya memburu cepat, seirama dengan dadanya yang naik-turun.
"Aku pengen dipeluk lagi." Ucap Tio sambil berbalik ke depan, seraya menarik gas. Shinta tak bergeming.
"Masih malu-malu, dia," batin Tio geli.
Kuda besi dengan dua penunggang berbeda jenis itu kembali menderu.
"Memangnya, kenapa kamu ngelakuin itu semua tadi, yo ?" ucap Shinta, ketika mereka sudah keluar dari areal kampus.
Belum lima menit, dan gadis itu sudah tak tahan untuk berdiam diri.
Tio tersenyum simpul, "Aku udah bilang, `kan?"
"Apa? Kamu suka aku??" tukas gadis itu cepat-cepat. Ada nada tak percaya di sana. Juga keceriaan. Dan Tio bukannya tak tahu.
"Iya."
"Trus?" Shanti masih mengejar.
Seketika ia sadar sudah bertindak agresif. Sesuatu yang belum pernah dilakukannya selama ini. Sesuatu yang justru selalu dilakukan oleh pemuda-pemuda lainnya. Ia mulai terheran-heran pada dirinya sendiri.
"Ya udah. Itu aja...." Sahut Tio kalem. "....dulu." lanjutnya sambil terkekeh dalam hati.
Gadis di belakangnya seketika tersenyum kecut. "Itu aja...?" batinnya kecewa.
"Tapi, aku minta tolong nih..." ucap Tio kemudian.
"Hmmm...?"
"Pinggangku masih sakit abis kena cubit, nih."
"Pegangin dong....." lanjut Tio lagi. Shinta tersenyum manis sekali.
Sayang Tio tak bisa melihatnya. Tangan Shinta terulur ke depan, mengusap pinggang Tio yang dicubitnya tadi.
"Eh, yang satunya juga sakit, tuh. Nular kayanya!" seru Tio.
Shinta nyaris tergelak.
Ia mengerti maksud pemuda itu.
Membungkukkan punggung, diraihnya pinggang si Pemuda dengan kedua lengannya.
"Begini?" Ia memegang pinggang Tio dengan lembut.
"Belum. Gini nih." Tio menarik handel rem dengan cepat, membuat tubuh Shinta terdorong ke depan dan menempel dengan punggungnya. Lalu menarik gas kembali. Gadis itu sudah memeluk tubuh Tio dengan erat. Hangat.
"Terima kasih..." bisik Tio sambil berpaling ke wajah gadis itu yang kini begitu dekat dengan wajahnya. Kelopak mata gadis itu sudah terpejam, dan Tio dapat merasakan hembusan nafas si Gadis di pipinya.
Cut!!
Seketika Tio menyadari bahwa ia sedang melaju di jalanan. Terburu, ia membalikkan kepala ke depan, persis ketika seekor kucing sedang melintas di depannya. Sigap, ia membanting setir, bermanuver ala pembalap Grand Prix.
"Batal mati, kamu, Pus!!" umpatnya dalam hati.
Shinta yang kaget dengan manuver itu, spontan membuka mata. "Kenapa, yo?" tanyanya heran.
"Nggak pa-pa..." jawabnya gusar, "hampir bikin sate kucing, kita."
Dasar, kucing nggak tau orang seneng.....!
Tio menghentikan motornya di depan pagar Asrama Putri. Langit sudah terlihat gelap. Mereka berdua memang sejak sore tadi, berkeliling kota tak tentu arah. Shinta melangkah turun. Ia sebenarnya belum ingin berpisah dengan pemuda ini.
"Tio, nggak mampir dulu?" ucapnya berharap.
"Wah, aku kudu cepet balik, Shin. Ada kerjaan buat besok."
Shinta mengangguk kecewa.
Senyumnya terlihat dipaksakan. "Oke deh. Makasih ya, udah dianterin."
Bola mata indahnya sedikit meredup. Tio meringis lucu.
"Hahaha! Aku yang makasih! Boleh ngebawa kamu kemana-mana! See you, Shin!"
Tio menstarter motornya, dan berlalu pergi.
Shinta masih berdiri memandangi punggung pemuda itu, sampai menghilang di ujung jalan. Lalu melangkah gontai ke dalam asrama.
"Masih ada esok hari, Shin!" hibur hatinya.
---------------Bermain Api Atau Api yang Bermain? (CHAPTER 4) -END-----------------
Bermain Api Atau Api yang Bermain? (CHAPTER 5) - NEXT
Bermain Api Atau Api yang Bermain? (CHAPTER 1) -BACKBermain Api Atau Api yang Bermain? (CHAPTER 5) - NEXT
Bermain Api Atau Api yang Bermain? (CHAPTER 2)-BACK
Bermain Api Atau Api yang Bermain? (CHAPTER 3) - BACK
0 komentar
Posting Komentar
Silahkan berkomentar apa saja yang terkait pada artikel ini. Terima Kasih.