5 Days Before Deadline
Motor hitam itu melaju cepat di bawah siraman hujan rintik-rintik yang mengguyur Jogja pagi itu. Dua orang pengendaranya, sepasang muda-mudi. sesekali tertawa-tawa riang. Mereka tampak menikmati momen itu.
"Yoo, ujan nih, basah!" jerit Shinta.
"Lhah, emang mau kekeringan?" canda Tio sekenanya.
Gemas, Shinta mencubiti pinggang si pemuda, yang hanya bisa mengaduh. Jalanan sudah lumayan ramai. Bisa gawat kalau si pemuda kehilangan pandangan, walau hanya sesaat. Ia hanya pasrah diserang demikian rupa.
"Shin, mampir tempatku , yuk?"
"Ah? Ngapain?" Shinta terkejut.
"Ganti baju aja. Masa kamu mau ke kampus basah-basah gini?"
Shinta bisa merasakan desiran darah di wajahnya. Ke tempat Tio? Jauh di lubuk hatinya, ia merasa jengah, membayangkan dirinya, seorang gadis, yang nota bene masih benar-benar gadis, masuk ke rumah seorang laki-laki.
Tapi benaknya mendorongnya untuk menerima tawaran itu. Di mana lagi tempat yang lebih baik untuk mengenal seorang lelaki selain di rumahnya? Benteng terakhir privasinya?
"Nggak mau? Ya udah." Tio sekuat tenaga menekan nada kecewa dalam suaranya. Duh, umpan terbaikku ditolak mentah-mentah, batinnya gundah.
Resiko perjuangan.
Tetapi, "Boleh..." Shinta berteriak menyaingi deru hujan dan kendaraan di sekitar mereka. "Eh? Oke..." balas
Tio juga berteriak, "....horeee!" sambungnya norak dalam hati.
Ia membelokkan setir dengan luwes. Lalu menarik gas penuh semangat.
"Masuk aja, Shin. Nggak usah sungkan-sungkan." Tio membuka pintu depan lebar-lebar.
Melangkah masuk.
Dengan santai, dilemparnya serangkai kunci yang digenggamnya ke atas meja ruang tamu. Shinta melongok ke dalam ruangan itu dengan hati-hati.
"
Emm, nggak ada orang, Tio?" bisiknya pelan.
"Nggak. Aku cuman tinggal berdua ama adekku. Dia sekarang lagi mudik nemuin ortu." Tio menurunkan ransel hitamnya di atas lantai. Lalu dibukanya jaket kulitnya yang lembab terguyur gerimis tadi. Juga T-shirt di tubuhnya.
Cuma tersisa jeans hitam yang membalut bagian bawah tubuhnya. Shinta terkesiap. Ini pertama kalinya ia menyaksikan tubuh polos Tio. Dada yang meski kurus dan ditonjoli belulang.
Shinta memalingkan wajah malu.
Ini yang kedua kalinya, seorang laki-laki melepaskan pakaian di depannya begitu saja. Setelah bapaknya, tentu saja.
Tio memasuki sebuah kamar dan kembali dengan handuk beserta satu set training berwarna hitam di tangannya.
"Wah, cuman ada ini, Shin. Yang laen belom dicuci."
Tio menyodorkannya ke arah Shinta. Gadis itu menerimanya sambil mengernyit heran.
"Buat apaan, Tio?"
"
Huu, elo udah kuyup gitu, gimana sih?" Tio meringis sambil mengedipkan mata.
"Ah?!" Shinta seperti baru tersadar. Ia melihat ke tubuhnya. Memang, kemeja yang dikenakannya lumayan basah, juga celana putih yang dikenakannya. Tubuh indahnya terbayang begitu jelas di situ.
Refleks, ia menutupkan training ke arah dadanya.
Tapi Tio sudah berbalik, sambil menunjuk ke kamar yang baru saja dimasukinya,
"Ya udah, ganti aja di kamarku. Aku mau mandi dulu nih." Shinta sejenak termangu. Kamarku? Kamar Tio?
Tak lama, terdengar suara shower dari kamar mandi. Juga suara Tio yang cempreng bersenandung keras-keras. Tak jelas, lagu apa yang diteriakkannya. Shinta mengendap memasuki kamar pemuda itu.
Sebuah ranjang, lemari, meja, cermin seukuran orang dewasa, dan poster! Banyak sekali poster yang terpampang di dinding. Semuanya bergambar tokoh Superman. Itu, temannya Batman dan Spiderman. Cukup rapi untuk ukuran pemuda seperti Tio. Diam-diam, Shinta menyukai kamar itu. Nyaman, dengan selarik sinar matahari yang menerobos dari jendela nako menimbulkan hawa yang terasa hangat. Kamar itu ternyata menghadap ke Timur.
Dalam cuaca hujan seperti ini, kamar Tio benar-benar tempat idaman. Bergegas, gadis itu menutup lalu mengunci pintu kamar. Pelan-pelan, Shinta melolosi pakaian luarnya sambil menatap bayangan di cermin.
Mengagumi bentuk tubuhnya sendiri yang hanya tertutup underwear.
Setengah menggumam, "Kamu memang menarik, Shin!" ucapnya pada cermin yang untungnya tak punya perasaan. Kalau punya, ia pasti sudah mengerayangi tubuh si gadis di depannya erat-erat.
Sudah beberapa menit, tapi Shinta masih saja memandangi dirinya. Di benaknya, terngiang kembali rayuan pemuda-pemuda yang memuji-muji keindahan raganya. Ia bukannya tak sadar akan itu.
Bagaimana pun, perempuan punya kecenderungan narcisme. Memuja dirinya sendiri. Itu fakta. Sayang, gadis itu tak sempat `menikmati' diri lebih lama lagi.
Tio menggedor-gedor pintu dengan brutal.
"Wooii! Jangan nelor di dalem! Di WC aja!" teriak pemuda itu dari luar. Sebal sekali. "Iya-iya! Ini juga mau selesai!" Shinta menjawab ketus.
Segera dikenakannya training set itu. Ternyata, kedodoran sekali. Terlihat lucu di tubuhnya. Seperti anak kecil yang hendak berolah raga dengan baju ayahnya.
Shinta membuka pintu kamar dengan wajah masam.
Tio, yang tetap hanya mengenakan black jeansnya, spontan terbahak.
"Wuahahaahahaahaha! Mau maen bola di mana, Neng?"
"Hmmph. Ini `kan gara-gara baju elo!" Shinta merajuk, lalu duduk sambil menghempaskan pantat keras-keras di sofa.
"Sori-sori. Abis nggak ada yang lain...." Tio membela diri. Senyum masih di bibirnya. Dengan cuek, ia lalu duduk di lantai, berhadapan dengan gadis itu. Meraih asbak, rokok, dan Zippo. Tiga bersaudara biang penyakit, kata dokter.
Tiga sejoli kekasihku, kalau versi Tio.
" Tio, aku minta tolong boleh?" ucap Shinta, setelah mereka saling berdiam diri hampir sepeminuman teh, sibuk dengan pikiran masing-masing. Sementara, hujan di luar sana belum juga reda.
"Hmmm? Apaan?" Tio menatap kepada gadis itu dengan raut serius. Memang hanya di rumah, seluruh kesadarannya terkumpul. Tak ada ulah konyol, kekanakan, atau pun melamun sendiri sambil tertawa-tawa.
"Ceritain dong, soal diri kamu, yang nggak dingertiin orang-orang?" Shinta menatapnya penuh harap.
Tio tertunduk. Gadis ini cerdas sekali, batinnya. Lebih dari yang lain-lain.
Menghisap dalam-dalam kreteknya, Tio membalas, "Boleh. Tapi aku pengen cerita sambil meluk kamu."
Shinta seketika beranjak dari sofa, kemudian mengambil tempat di sisi Tio. Memeluknya erat dengan kepala menyandar di bahu si pemuda. "Begini?" tanya gadis itu manja.
Tio tersenyum lembut seraya mengangguk.
Lengan kurusnya balas mendekap Shinta. "Aku nggak bisa cerita semua, kecuali..."
"Apa lagi, Tio?" Shinta menunggu was-was.
"Ah tidak, nanti saja. Mau cerita yang mana dulu?" Tio melemparkan umpan pamungkasnya.
Menggigit ujung bibirnya, sedikit kecewa, gadis itu berkata, "Apa saja, Tio."
Si Pemuda tersenyum. Toh nanti akan datang waktunya.
Lalu segala cerita mengenai dirinya, mimpinya, dan sejarahnya di masa lalu, mengalir dengan runtut.
Nyaris semua.
Gadis itu mendengarkan semuanya dengan seksama. Sesekali tertawa kecil, mengangguk serius, juga ikut tercenung, berempati pada kisah hidup pemuda itu. Hampir tiga jam, Tio berkicau sendiri.
Hebat, bisa saingan sama beo.
Shinta menikmati saat-saat ini, dengan segenap rasa. Misteri yang sempat dipikirkannya, tersingkap satu demi satu.
Kecuali hal terakhir.
" Tio, mau nanya lagi." Ucap Shinta, ketika Tio sudah menyelesaikan novel hidupnya. Tio mengangkat sebelah alisnya. Menunggu.
"Kenapa, kenapa kamu nggak pernah nge-kiss Shinta?" ada kegusaran dalam nada si gadis.
Tio menggelengkan kpala pelan. "Tanya aja yang lain, ya?"
Shinta mengerutkan kening tak sabar. "Kamu nggak bergairah sama Shinta, yo?" kejar gadis itu lagi. Sekali ini, Tio terdiam.
Ia membuang muka.
Shinta semakin penasaran.
"Jawab, Tio! Ayo!" Jemari mungilnya mencengkeram lengan Tio erat-erat.
"Prinsip-prinsip kamu? Atau, karena menurut kamu, Shinta masih kecil? Seperti yang Rien bilang?"
Gadis itu tersengal, egonya terusik.
Belum pernah, ada yang bersikap seolah tak menginginkan dirinya. Bola matanya berkaca-kaca, diayun emosi. Tio menatapnya kembali.
"Hei, hei, bukan itu masalahnya." Tukasnya sabar. Diusapnya perlahan rambut panjang gadis itu.
"Terus? Apa?!" Shinta menatap penuh tantangan. Berapi-api. Akhirnya, seperti yang sudah kuduga, batin Tio dalam hati.
Tanpa pikir panjang, Tio menjawab, "Karena itu pasti yang pertama buat kamu." Sedetik setelah mengucapkannya, Tio sadar, tak ada kata mundur setelah ini.
Shinta tersenyum manis. Lalu dengan satu gerakan cepat, ia meraih wajah Tio dengan kedua tangannya, dan menyentuhkan ujung bibirnya dengan lembut ke bibir Tio.
Merekahkan tepiannya, lalu melumat lambat-lambat.
Pemuda itu memejamkan mata. Kehangatan bibir gadis itu, coba diresapinya dalam-dalam. Shinta menarik wajahnya mundur.
Kelopak matanya tampak sayu.
Sedang napasnya terdengar mulai cepat.
"Bukan yang pertama, untuk sebuah kecupan, Tio..."
Si Pemuda tak sempat menjawab. Gadis itu sudah membungkukkan punggung, menciumi tiap senti dadanya yang telanjang. Menggigit, menghisap.
Bahkan menjilat.
Tio kembali memejamkan mata, dengan kepala terdongak ke belakang. Nafasnya tanpa sadar mulai memburu.
Gairahnya sedang dibangkitkan.
Ia sangat-sangat sadar.
Juga ketika jemari Shinta membuka kancing jeansnya, lalu menurunkan retsluiting dengan cekatan.
Dan bibir gadis itu makin turun ke bawah.
Tio merasakan sesuatu menyesak di bawah sana.
Sigap, ditahannya wajah gadis itu. Lalu si Pemuda mengangsurkan wajahnya, mengulum bibir si Gadis dengan penuh perasaan. Mempermainkan lidahnya di dalam rongga mulut Shinta dengan liar, lalu keluar ke dagu, leher, dan belakang telinga gadis itu. Shinta mengerang tertahan.
Ada rasa geli yang mengalirkan listrik ke seluruh syaraf di tubuhnya. Ia menggigit bibir, Disamping telinga gadis itu, Tio berbisik lirih, "Jaketnya..." Tanpa membuka mata, gadis itu menarik turun ritsluiting jaket training yang dikenakannya, kemudian melepasnya dengan cekatan.
Hanya sekejap, mereka berdua sudah bertelanjang badan.
Polos.
Deru hujan di luar, seolah sedang terjadi badai petir yang dahsyat. Meski kalah dahsyat dengan badai dalam dada masing-masing mereka.
Langkah terakhir.
Tio menatap mata gadis yang terlentang di bawahnya.
"I want to touch," satu bisikan, pernyataan sebuah keinginan.
Gadis itu mengangguk yakin. Lalu pejamkan mata.
Tio masih sempat melirik tanggalan yang terpasang di dinding ruang tamu. Pemuda itu menggeleng pelan. Bibirnya tersungging senyum tipis.
It's about time.
Penuh kenikmatan.
Kemudian meninggalkan gadis itu begitu saja, ketika jeritan tertahannya terlontar untuk yang kesekian kali, dan tergeletak lemas.
Tio meraih sebatang rokok dan menyulutnya seraya duduk di sudut sofa.
Entah sejak kapan, wajahnya terlihat begitu dingin dan bengis.
Khas lelaki penakluk.
Iblis Jahanam.
Ada noda darah di lantai, diusap dengan ibu jari kaki.
--------------- Bermain Api Atau Api yang Bermain? (CHAPTER 8)-END-----------------
0 komentar
Posting Komentar
Silahkan berkomentar apa saja yang terkait pada artikel ini. Terima Kasih.